Tahqiq berbeda dengan Takhrij. Takhrij adalah menunjukkan atau menisbatkan hadits kepada sumber-sumbernya yang asli, yang mengeluarkannya dengan sanadnya. Sedangkan Tahqiq adalah semakna dengan Tadqiq (pemeriksaan secara seksama dan detil) di mana sebagian ulama menghampiri sebuah Makhthuth (Manu script) dari kitab-kitab karangan ulama ingin mencetaknya, akan tetapi cetakan ini perlu adanya naskah dengan tulisan yang baik, maka sang Muhaqqiq (orang yang melakukan Tahqiq) mengajukannya untuk dicetak, lalu mengevaluasi cetakan itu dan meneliti harakat naskahnya. Bila terdapat kata-kata yang perlu untuk dijelaskan, maka ia harus menjelaskannya dan bila terdapat kata-kata yang salah tulis oleh nasikh (pemindah tulisan asli), maka ia harus membetulkannya, lalu menyiratkan kepada upaya yang dilakukannya dalam tahqiq dan pembetulan ini.
Mengeluarkan nash secara benar dan tanpa cacat dengan Tadqiq dan pembetulan ini dinamakan Tahqiq. Mudah-mudahan dengan ini perbedaan antara takhrij dan tahqiq menjadi jelas.
(SUMBER: Fatawa Haditsiyyah karya Syaikh Sa’d bin Abdullah Al Humaid, Hal.161, dinukil dari tulisan Saudara Abu Al Jauzaa di www.myquran.org)
Blog'eMasAries
SELAMAT DATANG DI BLOG'E MAS ARIS.... SELAMAT MEMBACA SEMOGA BERMANFAAT
Senin, 03 Januari 2011
Senin, 27 Desember 2010
Pesan dari Ayah
Ayahku hanyalah seorang petani.. Setiap pagi sebelum ayam berkokok dan orang-orang masih terlelap dalam mimpi-mimpi indah, ayah sudah harus bangun mempersiapkan barang-barang yang hendak dibawa ke kebun nanti. Kemudian setelah adzan subuh berkumandang ayah mengayuh sebuah perahu menuju sebrang pulau ditemani seorang wanita yang tangguh yaitu ibuku..
Beberapa puluh tahun yang lalu ayahku seorang pemuda yang rela meninggalkan kampung halamannya dan merantau ke sebuah desa kecil di timur Indonesia. Ia tinggal di sebuah rumah sambil bekerja kemudian jatuh hati pada anak gadis majikannya yang ketika itu masih belasan tahun. Ia pun langsung melamar dan mereka pun menikah.
Aku yakin waktu itu ayah adalah pemuda yang baik sehingga nenek mau menikahkan ayah dengan anak gadisnya yang sekarang telah menjadi ibuku. Dan memang benar karena selama menikah sampai sekarang ayah tidak pernah menyakiti ibu. Kata ibu ketika ayah marah ayah mengambil parang kemudian turun dari rumah gantung di kebun lalu memotong pisang yang ditanam bersama sebagai pelampiasan amarahnya atau pergi menenangkan diri.
Ibuku rela tuk dibawa oleh ayahku pergi berkebun. Baiasanya waktu dulu di desa itu kalau berkebun mereka harus tinggal di kebun yang jauh dari kampung. Menjaga tanaman kelapa agar tidak diganggu binatang buas. Mereka ke kampung hanya apabila hendak berbelanja seperti gula, garam, teh dan lainnya.
Buah dari pernikahan mereka melahirkan Sembilan orang anak dan salah satunya aku.. Namun keempat saudaraku telah terlebih dahulu dipanggil yang Maha kuasa ketika mereka masih kecil sehingga sekarang tinggal kami berlima dan aku anak kelima dari lima bersaudara. Satu kakak laki-lakiku yang paling tua dan ketiga kakak perempuanku yang sangat aku sayangi.
Dahulu ketika aku masih kecil ayah sering berpesan padaku “Jangan Jadi Seperti Ayah”. Ayahku tidak ingin anak-anaknya seperti dia menjadi petani namun sekolah setinggi-tingginya hingga tergapai mimpiku.
Ketika hari sudah sore ayah menyuruh aku ke guru ngaji tuk belajar mengaji dan ayah selalu berkata “Jangan Jadi Seperti Ayah”. Karena ayahku tidak bisa mengaji sehingga ia berkata begitu.
“kenapa ayah seperti ini? (tidak bisa mengaji). Karena dahulu orang tua ayah tidak pernah mengajarkan ayah mengaji dan sekarang kalian anak-anak ayah harus bisa mengaji.” Pesan ayah.
Aku bangga dengan keterbukaan ayah..
Meskipun ayahku tidak bisa mengaji namun Alhamdulillah aku punya ibu yang bisa mengaji sehingga sering mengajarkan aku dan kakak-kakakku mengaji dirumah selain kami mengaji pada guru. Bahkan sebelum kami tidur ibu sering melantunkan ayat-ayat suci itu mengiringi kami tidur. Dan biasanya ayah sering mendongeng sebelum kami tidur. Aku masih ingat kisah yang sering diceritakan ayah yaitu dua ekor buaya bersaudara yang bernama Hasini dan Hasani. Aku dan kakakku sering meminta ayah menceritakannya berulang-ulang. Dan sekarang setelah aku gede aku merasa itu konyol namun aku tetap mengenangnya.
Ayahku tegas dan disiplin. Dan juga keras. Namun ia penyayang.. Dari ayah aku belajar banyak hal. Tentang kejujuran.. Keterbukaan dan jiwa penolong yang tinggi.
Ketika aku kecil dulu orang-orang dari kota sering datang ke desa kami tuk berjualan dan ketika hari sudah sore mereka tidak dapat kembali ke kota. Ayah sering memanggil mereka tuk datang ke rumah lalu melayani mereka dengan sepenuh hati.
Namun kasih sayang ayah dan ibu tak dapat aku rasakan secara langsung lagi sebelum aku dewasa. Ketika aku lulus sekolah menengah pertama dan harus menyebrang lautan melanjutkan sekolahku. Kakak perempuanku diterima menjadi seorang guru di sebuah daerah yang termasuk jauh sehingga ia membawaku tuk menemaninya. Disitu pun aku belajar banyak hal yang membuat aku semakin dewasa.
Ayah mengajarkan aku dan kakak-kakakku banyak hal sehingga kami saling menyayangi. Kakak perempuanku yang telah menjadi guru tidak mau ayahku berbanting tulang lagi tuk membiayai sekolah adik-adiknya lalu dia yang mengambil alihnya.
Ternyata pesan ayah membuat ia menderita.. Ia harus menahan rindu terhadap semua anak-anaknya yang pergi meninggalkannya demi menggapai angan dan cita mereka. Mengukir asa di rantau orang.
Setelah lulus Sekolah Menengah Atas aku langsung mencoba menggapai mimpi di Jogjakarta dan kakak-kakakku yang lain di tanah Sulawesi. Aku bahkan tidak pernah bertemu seorang kakak perempuanku enam tahun lamanya. Setelah empat tahun merantau aku sempat pulang namun tidak bertemu dengannya kerna tengah kuliah. Ia selalu berkata rindu ingin bertemu adik bungsunya yang sekarang sudah dewasa.
Rumah kami yang tadinya penuh dengan keceriaan kini berubah menjadi kaku dan sepi. Hanya kakak laki-lakiku anak tertua yang memilih tuk tidak melanjutkan sekolah namun ia pun sering pergi bekerja sehingga suasana rumah menjadi hampa.
Begitulah hidup.. kita takkan selamanya bersama orang-orang yang kita cintai.
Diantara anaknya yang pergi, akulah yang jarang pulang. Kata kakakku ketika menelfon, ayah sering mengatakan rindu.. Dan Sekarang ayah sering sakit-sakitan. Mendengar itu aku hanya bisa menangis dan berdo’a memohon kesembuhan pada ayah karena salah satu keinginanku ketika aku menikah nanti ayah harus hadir hingga bisa menggendong cucu dariku agar ayah tahu bahwa aku bahagia.
Ketika lebaran tiba, kakakku yang sempat pulang menelfonku dan ibuku tak mau berbicara denganku karena apabila ia mendengar suaraku ia akan menangis. Karena akulah anaknya yang bungsu dan paling jauh..
“Bu… Sejauh manapun anakmu ini pergi, ibu akan selalu ada di hati. Krena aku tahu “The Great Power Of Mom” yang membuat aku seperti ini. Suatu ketika aku akan kembali dan suatu ketika aku akan pergi lagi.. Disaat aku menikah nanti aku harus meninggalkan ibu meski ibu sangat aku cinta. Karena aku harus menjadi pemimpin baru seperti ayah memimpin ibu dahulu. Dan aku yakin ibu akan tersenyum dengan kepergianku yang kedua karena ibu tahu aku bahagia.”
Kini aku tengah merajut mimpi di negeri orang.. aku hanya bisa berdo’a agar suatu ketika kita bisa dikumpulkan kembali dalam naungan kasih dan sayang-Nya.
Untuk ayahku..
“Meski pun pesan ayah jangan jadi seperti Ayah namun aku tetap ingin jadi seperti Ayah.. Yang begitu tangguh mencari nafkah tuk keluarga. Yang rela meninggalkan kampung halaman demi sebuah perubahan dan tak lagi mengharap harta warisan orang tua.”
“Pesan ayah akan selalu aku ingat dan akan ku pesankan lagi pada anakku kelak tentang keburukanku yang tak patut ditiru.” (Jangan Jadi Seperti Ayah)
Untuk kakak laki-lakiku..
“Ka, cepatlah menikah.. Adikmu ini sudah rindu ingin menikah masa kakaknya belum juga??”
“Ketiga kakak perempuanku yang sangat aku sayangi. Semoga tetap dalam lindungan Allah. Yakinlah suatu ketika jika Allah mengizinkan kita akan tetap bertemu. Tetaplah saling menyayangi karena Allah akan mempertemukan kembali orang-orang yang saling menyayangi atas asma-Nya di akhirat kelak.”
Meskipun ayahku bukanlah seorang yang pandai dalam agama, namun cara dia mendidik dan membesarkan anak-anaknya seperti apa yang diajarkan islam.. Yaitu penuh kasih dan sayang. Dia mengajarkan tuk saling mencintai antara aku dan kakak-kakakku sehingga kita tak saling menyakiti.
Tanpa disadari, pesan dari ayah mampu membawa banyak perubahan dalam kehidupan kami. Kedua kakakku telah sarjana da seorang kakakku lagi telah lulus PGSD. Kakak laki-lakiku tak mau melanjutkan pendidikannya maka kini tinggal aku yang tengah dalam proses menggapai asa dan harapan.
Seburuk-buruknya aku, aku ingin menjadi anak yang sholeh agar bisa membahagiakan kedua orang tuaku. Meskipun itu sulit namun aku harus berusaha tuk bisa. Aku yakin kesholehan bukanlah suatu pencapaian namun sebuah proses. karena Allah menilai pada proses serta azam seseorang dan hasilnya akan didapatkan di akhirat kelak.
Suatu ketika jika aku punya isteri nanti, aku ingin seseorang yang setia seperti ibuku yang tetap berada disamping ayahku melewati suka duka hidup. Tetap ada saat ayahku berada dalam keterpurukan dan setia menemaninya hingga menua..
Untuk kalian yang dekat dengan ayah dan ibu kalian.. Katakanlah bahwa kalian mencintai mereka sebelum semuanya terlambat. Ciumlah tangan mereka dan lakukanlah yang terbaik sebelum kalian jauh…
Ini hanyalah sebuah kisah tentang aku dan keluargaku. Awalnya aku tidak ingin menulis ini namun suatu kalimat oleh Bunda Evi Ni’matuzzakiyah dalam bukunya “Berani Mengambil Keputusan” menguatkanku tuk harus menulisnya.
"Goresan Tinta Kita berarti Catatan Sejarah Untuk Anak Cucu Kita.”
Begitulah yg dikatakan Bunda Evi yang juga pernah menjadi dosen Pendidikan Agama Islamku ketika semester II dahulu.
Aku ingin tulisan ini bisa menjadi pelajaran untuk anak-anakku nanti serta orang-orang yang membacanya dan mau mengambil hikmah dari kisah ini.
Semoga mampu mengambil hikmahnya..
Kupersembahkan kisah ini pada Ayahku yang terkasih serta ibuku tercinta dan kakak-kakakku yang sangat aku sayangi.
Beberapa puluh tahun yang lalu ayahku seorang pemuda yang rela meninggalkan kampung halamannya dan merantau ke sebuah desa kecil di timur Indonesia. Ia tinggal di sebuah rumah sambil bekerja kemudian jatuh hati pada anak gadis majikannya yang ketika itu masih belasan tahun. Ia pun langsung melamar dan mereka pun menikah.
Aku yakin waktu itu ayah adalah pemuda yang baik sehingga nenek mau menikahkan ayah dengan anak gadisnya yang sekarang telah menjadi ibuku. Dan memang benar karena selama menikah sampai sekarang ayah tidak pernah menyakiti ibu. Kata ibu ketika ayah marah ayah mengambil parang kemudian turun dari rumah gantung di kebun lalu memotong pisang yang ditanam bersama sebagai pelampiasan amarahnya atau pergi menenangkan diri.
Ibuku rela tuk dibawa oleh ayahku pergi berkebun. Baiasanya waktu dulu di desa itu kalau berkebun mereka harus tinggal di kebun yang jauh dari kampung. Menjaga tanaman kelapa agar tidak diganggu binatang buas. Mereka ke kampung hanya apabila hendak berbelanja seperti gula, garam, teh dan lainnya.
Buah dari pernikahan mereka melahirkan Sembilan orang anak dan salah satunya aku.. Namun keempat saudaraku telah terlebih dahulu dipanggil yang Maha kuasa ketika mereka masih kecil sehingga sekarang tinggal kami berlima dan aku anak kelima dari lima bersaudara. Satu kakak laki-lakiku yang paling tua dan ketiga kakak perempuanku yang sangat aku sayangi.
Dahulu ketika aku masih kecil ayah sering berpesan padaku “Jangan Jadi Seperti Ayah”. Ayahku tidak ingin anak-anaknya seperti dia menjadi petani namun sekolah setinggi-tingginya hingga tergapai mimpiku.
Ketika hari sudah sore ayah menyuruh aku ke guru ngaji tuk belajar mengaji dan ayah selalu berkata “Jangan Jadi Seperti Ayah”. Karena ayahku tidak bisa mengaji sehingga ia berkata begitu.
“kenapa ayah seperti ini? (tidak bisa mengaji). Karena dahulu orang tua ayah tidak pernah mengajarkan ayah mengaji dan sekarang kalian anak-anak ayah harus bisa mengaji.” Pesan ayah.
Aku bangga dengan keterbukaan ayah..
Meskipun ayahku tidak bisa mengaji namun Alhamdulillah aku punya ibu yang bisa mengaji sehingga sering mengajarkan aku dan kakak-kakakku mengaji dirumah selain kami mengaji pada guru. Bahkan sebelum kami tidur ibu sering melantunkan ayat-ayat suci itu mengiringi kami tidur. Dan biasanya ayah sering mendongeng sebelum kami tidur. Aku masih ingat kisah yang sering diceritakan ayah yaitu dua ekor buaya bersaudara yang bernama Hasini dan Hasani. Aku dan kakakku sering meminta ayah menceritakannya berulang-ulang. Dan sekarang setelah aku gede aku merasa itu konyol namun aku tetap mengenangnya.
Ayahku tegas dan disiplin. Dan juga keras. Namun ia penyayang.. Dari ayah aku belajar banyak hal. Tentang kejujuran.. Keterbukaan dan jiwa penolong yang tinggi.
Ketika aku kecil dulu orang-orang dari kota sering datang ke desa kami tuk berjualan dan ketika hari sudah sore mereka tidak dapat kembali ke kota. Ayah sering memanggil mereka tuk datang ke rumah lalu melayani mereka dengan sepenuh hati.
Namun kasih sayang ayah dan ibu tak dapat aku rasakan secara langsung lagi sebelum aku dewasa. Ketika aku lulus sekolah menengah pertama dan harus menyebrang lautan melanjutkan sekolahku. Kakak perempuanku diterima menjadi seorang guru di sebuah daerah yang termasuk jauh sehingga ia membawaku tuk menemaninya. Disitu pun aku belajar banyak hal yang membuat aku semakin dewasa.
Ayah mengajarkan aku dan kakak-kakakku banyak hal sehingga kami saling menyayangi. Kakak perempuanku yang telah menjadi guru tidak mau ayahku berbanting tulang lagi tuk membiayai sekolah adik-adiknya lalu dia yang mengambil alihnya.
Ternyata pesan ayah membuat ia menderita.. Ia harus menahan rindu terhadap semua anak-anaknya yang pergi meninggalkannya demi menggapai angan dan cita mereka. Mengukir asa di rantau orang.
Setelah lulus Sekolah Menengah Atas aku langsung mencoba menggapai mimpi di Jogjakarta dan kakak-kakakku yang lain di tanah Sulawesi. Aku bahkan tidak pernah bertemu seorang kakak perempuanku enam tahun lamanya. Setelah empat tahun merantau aku sempat pulang namun tidak bertemu dengannya kerna tengah kuliah. Ia selalu berkata rindu ingin bertemu adik bungsunya yang sekarang sudah dewasa.
Rumah kami yang tadinya penuh dengan keceriaan kini berubah menjadi kaku dan sepi. Hanya kakak laki-lakiku anak tertua yang memilih tuk tidak melanjutkan sekolah namun ia pun sering pergi bekerja sehingga suasana rumah menjadi hampa.
Begitulah hidup.. kita takkan selamanya bersama orang-orang yang kita cintai.
Diantara anaknya yang pergi, akulah yang jarang pulang. Kata kakakku ketika menelfon, ayah sering mengatakan rindu.. Dan Sekarang ayah sering sakit-sakitan. Mendengar itu aku hanya bisa menangis dan berdo’a memohon kesembuhan pada ayah karena salah satu keinginanku ketika aku menikah nanti ayah harus hadir hingga bisa menggendong cucu dariku agar ayah tahu bahwa aku bahagia.
Ketika lebaran tiba, kakakku yang sempat pulang menelfonku dan ibuku tak mau berbicara denganku karena apabila ia mendengar suaraku ia akan menangis. Karena akulah anaknya yang bungsu dan paling jauh..
“Bu… Sejauh manapun anakmu ini pergi, ibu akan selalu ada di hati. Krena aku tahu “The Great Power Of Mom” yang membuat aku seperti ini. Suatu ketika aku akan kembali dan suatu ketika aku akan pergi lagi.. Disaat aku menikah nanti aku harus meninggalkan ibu meski ibu sangat aku cinta. Karena aku harus menjadi pemimpin baru seperti ayah memimpin ibu dahulu. Dan aku yakin ibu akan tersenyum dengan kepergianku yang kedua karena ibu tahu aku bahagia.”
Kini aku tengah merajut mimpi di negeri orang.. aku hanya bisa berdo’a agar suatu ketika kita bisa dikumpulkan kembali dalam naungan kasih dan sayang-Nya.
Untuk ayahku..
“Meski pun pesan ayah jangan jadi seperti Ayah namun aku tetap ingin jadi seperti Ayah.. Yang begitu tangguh mencari nafkah tuk keluarga. Yang rela meninggalkan kampung halaman demi sebuah perubahan dan tak lagi mengharap harta warisan orang tua.”
“Pesan ayah akan selalu aku ingat dan akan ku pesankan lagi pada anakku kelak tentang keburukanku yang tak patut ditiru.” (Jangan Jadi Seperti Ayah)
Untuk kakak laki-lakiku..
“Ka, cepatlah menikah.. Adikmu ini sudah rindu ingin menikah masa kakaknya belum juga??”
“Ketiga kakak perempuanku yang sangat aku sayangi. Semoga tetap dalam lindungan Allah. Yakinlah suatu ketika jika Allah mengizinkan kita akan tetap bertemu. Tetaplah saling menyayangi karena Allah akan mempertemukan kembali orang-orang yang saling menyayangi atas asma-Nya di akhirat kelak.”
Meskipun ayahku bukanlah seorang yang pandai dalam agama, namun cara dia mendidik dan membesarkan anak-anaknya seperti apa yang diajarkan islam.. Yaitu penuh kasih dan sayang. Dia mengajarkan tuk saling mencintai antara aku dan kakak-kakakku sehingga kita tak saling menyakiti.
Tanpa disadari, pesan dari ayah mampu membawa banyak perubahan dalam kehidupan kami. Kedua kakakku telah sarjana da seorang kakakku lagi telah lulus PGSD. Kakak laki-lakiku tak mau melanjutkan pendidikannya maka kini tinggal aku yang tengah dalam proses menggapai asa dan harapan.
Seburuk-buruknya aku, aku ingin menjadi anak yang sholeh agar bisa membahagiakan kedua orang tuaku. Meskipun itu sulit namun aku harus berusaha tuk bisa. Aku yakin kesholehan bukanlah suatu pencapaian namun sebuah proses. karena Allah menilai pada proses serta azam seseorang dan hasilnya akan didapatkan di akhirat kelak.
Suatu ketika jika aku punya isteri nanti, aku ingin seseorang yang setia seperti ibuku yang tetap berada disamping ayahku melewati suka duka hidup. Tetap ada saat ayahku berada dalam keterpurukan dan setia menemaninya hingga menua..
Untuk kalian yang dekat dengan ayah dan ibu kalian.. Katakanlah bahwa kalian mencintai mereka sebelum semuanya terlambat. Ciumlah tangan mereka dan lakukanlah yang terbaik sebelum kalian jauh…
Ini hanyalah sebuah kisah tentang aku dan keluargaku. Awalnya aku tidak ingin menulis ini namun suatu kalimat oleh Bunda Evi Ni’matuzzakiyah dalam bukunya “Berani Mengambil Keputusan” menguatkanku tuk harus menulisnya.
"Goresan Tinta Kita berarti Catatan Sejarah Untuk Anak Cucu Kita.”
Begitulah yg dikatakan Bunda Evi yang juga pernah menjadi dosen Pendidikan Agama Islamku ketika semester II dahulu.
Aku ingin tulisan ini bisa menjadi pelajaran untuk anak-anakku nanti serta orang-orang yang membacanya dan mau mengambil hikmah dari kisah ini.
Semoga mampu mengambil hikmahnya..
Kupersembahkan kisah ini pada Ayahku yang terkasih serta ibuku tercinta dan kakak-kakakku yang sangat aku sayangi.
Sabtu, 25 Desember 2010
BELAJAR BERSATU
Oleh: Ust.Anis Matta,Lc.
Ketika kekalahan, tragedi, kelaparan, dan pembantaian mendera jasad Islam kita, kita selalu saja menyoal dua hal: konspirasi Barat dan lemahnya persatuan umat Islam. Tangan-tangan syetan Yahudi seakan merambah di balik setiap musibah yang menimpa kita. Dan kita selalu tak sanggup membendung itu, karena persatuan kita lemah.
Mari kita menyoal persatuan, sejenak, dari sisi lain. Ada banyak faktor yang dapat mempersatukan kita: aqidah, sejarah dan bahasa. Tapi semua faktor tadi tidak berfungsi efektif menyatukan kita. Sementara itu, ada banyak faktor yang sering mengoyak persatuan kita. Misalnya, kebodohan, ashabiyah, ambisi, dan konspirasi dari pihak luar.
Mungkin itu yang sering kita dengar setiap kali menyorot masalah persatuan. Tapi di sisi lain yang sebenarnya mungkin teramat remeh, ingin ditampilkan di sini.
Persatuan ternyata merupakan refleksi dari ’suasana jiwa’. Ia bukan sekedar konsensus bersama. Ia, sekali lagi, adalah refleksi dari ’suasana jiwa’. Persatuan hanya bisa tercipta di tengah suasana jiwa tertentu dan tak akan terwujud dalam suasana jiwa yang lain. Suasana jiwa yang memungkinkan terciptanya persatuan, harus ada pada skala individu dan jamaah.
Tingkatan ukhuwwah (maratibul ukhuwwah) yang disebut Rasulullah SAW, mulai dari salamatush shadr hingga itsar, semuanya mengacu pada suasana jiwa. Jiwa yang dapat bersatu adalah jiwa yang memiliki watak ’permadani’. Ia dapat diduduki oleh yang kecil dan yang besar, alim dan awam, remaja atau dewasa. Ia adalah jiwa yang besar, yang dapat ’merangkul’ dan ’menerima’ semua jenis watak manusia. Ia adalah jiwa yang digejolaki oleh keinginan kuat untuk memberi, memperhatikan, merawat, mengembangkan, membahagiakan, dan mencintai.
Jiwa seperti itu sepenuhnya terbebas dari mimpi buruk ’kemahahebatan’, ’kamahatahuan’, ’keserbabisaan’. Ia juga terbebas dari ketidakmampuan untuk menghargai, menilai, dan mengetahui segi-segi positif dari karya dan kepribadian orang lain.
Jiwa seperti itu sepenuhnya merdeka dari ’narsisme’ individu atau kelompok. Maksudnya bahwa ia tidak mengukur kebaikan orang lain dari kadar manfaat yang ia peroleh dari orang itu. Tapi ia lebih melihat manfaat apa yang dapat ia berikan kepada orang tersebut. Ia juga tidak mengukur kebenaran atau keberhasilan seseorang atau kelompok berdasarkan apa yang ia ’inginkan’ dari orang atau kelompok tersebut.
Salah satu kehebatan tarbiyah Rasulullah SAW, bahwa beliau berhasil melahirkan dan mengumpulkan manusia-manusia ’besar’ tanpa satupun di antara mereka yang merasa ’terkalahkan’ oleh yang lain. Setiap mereka tidak berpikir bagaimana menjadi ’lebih besar’ dari yang lain, lebih dari mereka berpikir bagaimana mengoptimalisasikan seluruh potensi yang ada pada dirinya dan mengadopsi sebanyak mungkin ’keistimewaan’ yang ada pada diri orang lain.
Umar bin Khattab, mungkin merupakan contoh dari sahabat Rasulullah SAW yang dapat memadukan hampir semua prestasi puncak dalam bidang ruhiyah, jihad, qiyadah, akhlak, dan lainnya. Tapi semua kehebatan itu sama sekali tidak ’menghalangi’ beliau untuk berambisi menjadi ’sehelai rambut dalam dada Abu Bakar’. Sebuah wujud keterlepasan penuh dari mimpi buruk ’kemahahebatan’.
Kamis, 23 Desember 2010
APAKAH SABAR ITU ADA BATASNYA.......?
Berbicara tentang sabar, kadang-kadang orang mengatakan bahwa sabar itu ada batasnya. Ini adalah ungkapan orang yang sudah tidak mampu lagi bersabar. Allah mengajarkan kesabaran dan tidak pernah memberikan batas.
Ini maknanya, bersabar itu harus dilakukan terus sehingga Allah mengganti musibah dengan kenikmatan Bahkan banyak sekali orang yang protes ketika ada yang memintanya bersabar. Seakan sabar adalah hal yang sangat merugikan dirinya. Hal itu terutama terjadi jika ada orang yang berbuat hal-hal yang tidak berkenan dihatinya. Memaafkan. Rasanya hal yang sangat sulit. Padahal Allah menjanjikan surga bagi orang yang memaafkan kesalahan orang lain.
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, Quran:3:133.
(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.3: 134.
Bagaimana kita menimbang? Pilih dendam atau surga? Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kita kembali. Sering yang terucap dari orang yang tidak mudah untuk memaafkan orang lain adalah “enaknya”. Seakan ia ingin menghukum orang itu dengan hukuman yang berat. Padahal kenyataannya dia menghukum diri sendiri.
Marah-marah tanpa bisa melampiaskan. Bahkan kehilangan rasa malu, karena tabiat buruknya itu dilihat oleh banyak orang. Marah hanya akan merugikan diri sendiri. Memang tidak mudah untuk mengendalikan amarah. Tapi jika kita berpikir bisa maka Allah akan memberi petunjuk untuk menuju ke situ.
Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Quran:2:153.
Saat marah, jika dalam posisi berdiri, maka duduklah, jika dalam posisi duduk berbaringlah, jika tetap saja tidak bisa menahan emosi ambil air wudlu, sholatlah. Jika tetap saja sakit hati, khusyuk dalam sholat. Insya Allah (kecuali jika Allah menghendaki lain) sakit hati pasti akan hilang
Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, sesungguhnya akan Kami tempatkan mereka pada tempat-tempat yang tinggi di dalam surga, yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik pembalasan bagi orang-orang yang beramal, Quran:2:58.
(yaitu) yang bersabar dan bertawakkal kepada Tuhannya. Sudahkah kita hanya berserah diri pada Allah atas segala urusan. Sesungguhnya hanya Dia sebaik-baik pemberi balasan. 2:59.
Bersabar bukan hanya dalam menahan amarah. Namun juga dalam menerima segala apa yang terjadi pada diri kita. Bersabar dalam melaksanakan perintah dan larangan Allah. Bersabar dalam perjuangan. Terus menerus memperjuangkan apa yang menjadi kehendak kita dengan diiringi doa, hingga semaksimal mungkin kita lebih dekat dengan apa yang kita inginkan. Termasuk berjuang untuk mengurangi penderitaan dan menuju kepada kesenangan, kebahagiaan.Bersabarlah dalam mempertahankan kesabaran. Dan beruntunglah orang-orang yang sabar.
Ini maknanya, bersabar itu harus dilakukan terus sehingga Allah mengganti musibah dengan kenikmatan Bahkan banyak sekali orang yang protes ketika ada yang memintanya bersabar. Seakan sabar adalah hal yang sangat merugikan dirinya. Hal itu terutama terjadi jika ada orang yang berbuat hal-hal yang tidak berkenan dihatinya. Memaafkan. Rasanya hal yang sangat sulit. Padahal Allah menjanjikan surga bagi orang yang memaafkan kesalahan orang lain.
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, Quran:3:133.
(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.3: 134.
Bagaimana kita menimbang? Pilih dendam atau surga? Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kita kembali. Sering yang terucap dari orang yang tidak mudah untuk memaafkan orang lain adalah “enaknya”. Seakan ia ingin menghukum orang itu dengan hukuman yang berat. Padahal kenyataannya dia menghukum diri sendiri.
Marah-marah tanpa bisa melampiaskan. Bahkan kehilangan rasa malu, karena tabiat buruknya itu dilihat oleh banyak orang. Marah hanya akan merugikan diri sendiri. Memang tidak mudah untuk mengendalikan amarah. Tapi jika kita berpikir bisa maka Allah akan memberi petunjuk untuk menuju ke situ.
Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Quran:2:153.
Saat marah, jika dalam posisi berdiri, maka duduklah, jika dalam posisi duduk berbaringlah, jika tetap saja tidak bisa menahan emosi ambil air wudlu, sholatlah. Jika tetap saja sakit hati, khusyuk dalam sholat. Insya Allah (kecuali jika Allah menghendaki lain) sakit hati pasti akan hilang
Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, sesungguhnya akan Kami tempatkan mereka pada tempat-tempat yang tinggi di dalam surga, yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik pembalasan bagi orang-orang yang beramal, Quran:2:58.
(yaitu) yang bersabar dan bertawakkal kepada Tuhannya. Sudahkah kita hanya berserah diri pada Allah atas segala urusan. Sesungguhnya hanya Dia sebaik-baik pemberi balasan. 2:59.
Bersabar bukan hanya dalam menahan amarah. Namun juga dalam menerima segala apa yang terjadi pada diri kita. Bersabar dalam melaksanakan perintah dan larangan Allah. Bersabar dalam perjuangan. Terus menerus memperjuangkan apa yang menjadi kehendak kita dengan diiringi doa, hingga semaksimal mungkin kita lebih dekat dengan apa yang kita inginkan. Termasuk berjuang untuk mengurangi penderitaan dan menuju kepada kesenangan, kebahagiaan.Bersabarlah dalam mempertahankan kesabaran. Dan beruntunglah orang-orang yang sabar.
Rabu, 22 Desember 2010
FAIDAH PENGGUNAAN ALIF dan LAM DALAM KALIMAT BAHASA ARAB
Ada suatu kaidah penting dalam ushul tafsir, dimana jika terdapat alif dan lam masuk pada isim jenis (seperti manusia, jin dll) atau masuk pada isim sifat (nama sifat), maka menunjukkan istigroqiyah, yakni menunjukkan makna yang mencakup keseluruhan dari jenis atau sifat yang dimasukinya.
Pada pelajaran mengenai bahasa Arab, kita ketahui bahwa isim yang kemasukan alif dan lam adalah isim yang ma’rifat, yakni isim yang tertentu, namun ketika alif dan lam masuk pada isim jenis dan sifat, maka alif dan lam ini berfungsi sebagaimana kaidah di atas. Kaidah ini telah disepakati oleh para ulama bahasa Arab dan juga ulama ushul fiqih.
Contohnya sebagaimana dalam surat al-Ahzab ayat 35:“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Pada ayat ini terdapat banyak sekali kata-kata sifat yang kemasukan alif dan lam. Sehingga dari hal ini kita ketahui bahwa, semua sifat yang ada pada ayat di atas menunjukkan semua cakupan sifat dan keseluruhan hal yang terkandung dari sifat, yang akan mengantarkannya kepada ampunan dan pahala yang besar dari Allah ta’ala.
Kita ambil contoh misalnya pada kata الْمُسْلِمِينَ. Kata ini menunjukkan semua orang muslim yang mempunyai makna-makna Islam, orang muslim yang mengamalkan semua bagian dan cabang-cabang islam. Sehingga dengan kesempurnaan islamnya, maka semakin sempurnalah konsekuensinya, yakni magfiroh (ampunan) dan pahala yang besar dari Allah ta’ala. Begitu pula, semakin sedikit kesempurnaan islamnya, semakin sedikit pula magfiroh dan pahala yang akan diterimanya.
Sehingga dari hal ini, tidak semua orang muslim akan mendapatkan ampunan dan pahala yang besar dari Allah ta’ala, akan tetapi hanya orang muslim yang mempunyai keseluruhan makna Islamlah yang mendapatkan ampunan dan pahala yang besar dari Allah Ta’ala. Dimana besar kecilnya ampunan Allah tergantung kadar keislaman yang dimilikinya.
Demikian juga pada kata الْمُؤْمِنِينَ yang merupakan kata sifat. Ketika masuk pada kata tersebut alif dan lam, maka menunjukkan bahwa, iman yang akan mengantarkan kepada ampunan dan pahala yang besar dari Allah adalah keimanan seseorang yang mencakup keseluruhan iman dan cabang-cabang iman, yakni orang yang ada pada dirinya semua aspek-aspek iman. Sehingga, semakin sedikit aspek iman yang dikerjakannya dan semakin rendah keimanannya, maka sedikit pula ampunan dan pahala yang ia dapatkan. Jika iman hilang, maka hilanglah ampunan dan pahalanya.
Kaidah ini tidak hanya mencakup pada sifat-sifat yang baik namun juga mencakup pada sifat-sifat yang buruk dan sifat-sifat yang dilarang oleh Allah ta’ala. Ketika Allah mengancam seseorang yang melakukan sifat buruk tertentu, maka jika semakin sempurna sifat buruk yang dilakukannya, maka semakin sempurna pula hukuman yang didapatkan, begitu pula semakin berkurang sifat buruk tersebut, semakin berkurang pula hukumannya.
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir,(21) kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat.”
Pada ayat ini terdapat isim jenis, yakni pada kata الْإِنْسَانَ, dan terdapat pada kata ini alif dan lam. Berdasarkan kaidah di atas, maka makna kata ini mencakup keseluruhan dari manusia, yang artinya semua manusia itu mempunyai sifat keluh kesah dan kikir, kecuali orang-orang yang telah Allah kecualikan, yakni orang-orang yang sholat.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”
Kata الْإِنْسَانَ menunjukkan keseluruhan manusia, sehingga arti dari ayat di atas adalah sesungguhnya semua manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali yang telah Allah Ta’ala kecualikan pada ayat di atas.
Untuk bisa mengetahui apakah alif lam yang dimaksud adalah alif lam istigroqiyah adalah dengan menambahkan kata كل (kullu) di depan katanya. Jika penambahan kata ini tidak merubah dan merusak arti, maka berarti alif lam tersebut adalah alif lam istigroqiyah.
Selain contoh di atas, contoh yang paling agung di dalam penerapan kaidah ini adalah dalam masalah asma’ul husna, dimana hampir disetiap surat terdapat asma’ul husna.
Di dalam al-Qur’an Allah ta’ala mengabarkan kepada kita bahwa dia adalah Allah, Al Malik, Al ‘Alim, Al Hakim, Al Aziz, Al Quddusus Salam, Al Hamidum Majid. Dimana pada lafadz Allah terkandung seluruh makna uluhiyah, hanya dialah dzat yang berhak untuk diibadahi. Pada kata tersebut terdapat seluruh sifat yang sempurna, seluruh sifat terpuji, keutamaan, kebaikan dan tidak ada penyekutuan atasnya, baik dari golongan malaikat, jin, manusia atau seluruh makhluk. Bahkan seluruh makhluk menyembah kepada Allah dengan penuh ketundukan terhadap keagungannya.
Begitu pula pada sifat Al malik, yang berarti dzat yg mempunyai semua makna dan unsur kepemilikan dan kekuasaan yg sempurna. Makhluk seluruhnya adalah milik allah.
Al ‘alim menunjukkan dzat yg mengetahui segala sesuatu, ilmunya meliputi yang nampak dan tidak nampak, samar dan jelas dan meliputi segala hal yang diperbuat seluruh makhluknya.
Dan sifat-sifat lainnya dari nama-nama Allah yang husna, yang dari nama ini terkandung kesempurnaan sifat dan keindahan sifat yang dimiliki oleh Allah. Sehingga ketika kita menemukan nama-nama Allah, maka sudah terbesit dalam hati kita bahwa makna dari nama tersebut menunjukkan kesempurnaan dari sifat tersebut.
Apa dasar munculnya kaidah ini?
Kaidah ini merupakan kaidah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sabda beliau pada saat tasyahud:
“Semoga perlindungan dan pemeliharaan diberikan kepada kami dan semua hamba Allah yang sholih. (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata) Jika kalian mengucapkan doa ini maka doamu ini akan mencakup seluruh hamba Allah yang sholih yang ada di langit dan di bumi.”
Senin, 20 Desember 2010
KEYAKINAN DAN KESABARAN
Keyakinan, adalah kesederhanaan. Sebuah kesederhanaan yang lahir dari kuatnya jiwa dan karakter seseorang. Keyakinan juga yang membuat Rosulullah, tak pernah berhenti berdo’a untuk penduduk thaif meski lemparan batu, hinaan hingga penolakan terhadap beliau bersama risalahnya. Keyakinan juga yang menumbuhkan kecintaan yang membara seorang Khalid bin Walid dengan dinginnya malam ketika perang dibanding bermesraan bersama seorang gadis cantik. Keyakinan pula yang membuat Ali bin abi Thalib dengan berani menggantikan Rasulullah ketika beliau hendak dibunuh oleh kaum Quraisy. Keyakinan itu tumbuh.. kuat mengakar.. Lahir dari keluhuran budi, kokohnya karakter, dan bersumber dari dentuman cinta mengabadi yang tak pernah padam untuk Allah dan jihad di jalan-Nya.
Keyakinan adalah teman setianya gairah yang selalu bersumber dari cinta. Keyakinan adalah kekuatan yang takkan pernah habis untuk selalu memberi energi bagi jiwa untuk menunggu, “membangun”, menguatkan, hingga berbagai defenisi tindakan yang terkadang tak bisa diterima oleh akal. Keyakinan hadir seperti sumber cahaya, ia adalah sumbu lilin yang terus terbakar, ia adalah sumbu sinaran yang menjadi alat untuk memberikan ruang terangnya.
Jika keyakinan adalah alasan terbesar seseorang untuk bertahan. Maka pasangan jiwanya adalah kesabaran. Kesabaranlah yang membuat orang untuk terus bersama dengan keyakinannya. Jika keyakinan adalah sumbu untuk memberikan cahaya, maka kemampuan untuk menerangi selama mungkin adalah sebuah defenisi sederhana tentang kesabaran. Kesabaran selalu menghasilkan berjuta pesona bagi sejarah. Bagaimana Sayyid Qutb lebih memilih untuk bersabar bersama dengan siksaan penjara di zamannya, kesabarannya-lah yang membuat cerita jihad menggelora di dalam dada jutaan pejuang di seantero mayapada. Bagaimana Yusuf AS, yang lebih memilih penjara agar mampu terus mengenal-Nya. Bagaimana Sumayyah meneladani semua wanita dengan semangat jiwanya untuk terus bersabar menahan siksaan kaum kafir hingga menjadi syuhada pertama dalam Islam. Mereka adalah karakter-karakter yang menyejarah.. selalu indah untuk dikenang.
Gabungan antara keyakinan dan kesabaran akan menghasilkan semangat yang takkan pernah padam. Keberanian akan menjadi temannya, kesolehan akan menjadi pakaian mereka, kebeningan hati akan selalu mengisi hidup mereka, dan hasilnya… Karya-karya besar bagi peradaban akan tercipta dari segala bentuk usaha mereka.
Yakinlah… bahwa Allah takkan pernah menyia-nyiakan segala usahamu.. Bersabarlah, hingga kelak… Ketika sabarmu telah habis masanya.. Perbahuilah terus ia dengan sebuah KEYAKINAN… Bahwa ALLOH takkan pernah membuatmu kecewa.…!!!
Sumber; www.dakwatuna.com
Sabtu, 11 Desember 2010
AYAH....! SHOLAT SHUBUH
Suatu hari seorang anak sedang belajar di sekolahnya, dia baru kelas 3 SD. Di salah satu pelajaran, seorang guru menjelaskan tentang shalat subuh dan dia menyimaknya dengan seksama. Mulailah gurunya berbicara tentang keutamaan dan pentingnya shalat subuh dengan cara yang menggugah, tersentuhlah anak didiknya yang masih kecil itu. Terpengaruhlah seorang anak kecil tadi oleh perkataan gurunya sementara ini dia belum pernah shalat subuh sebelumnya dan juga keluarganya.
Ketika dia pulang ke rumah, berfikirlah dia bagaimana caranya supaya bisa bangun untuk shalat subuh besoknya. Dia tidak mendapatkan caranya selain tidak tidur semalaman sampai bisa melaksanakan shalat subuh. Dia melakukan caranya itu. Dan ketika mendengar azan, bergegaslah dia untuk menjalankan shalat subuh. Tetapi ada masalah bagi anak kecil ini untuk sampai ke masjid karena letaknya jauh dari rumahnya. Dia tidak bisa berangkat sendirian, maka menangislah dia dan duduk di depan pintu. Tetapi tiba-tiba dia mendengar suara sepatu seseorang dari arah jalan, dibukalah pintu dan keluarlah segera dari rumahnya. Nampaknya kakek ini menuju masjid. Anak kecil ini melihat sang kakek dan dia kenal. Kakek ini adalah kakek temannya, Ahmad. Anak kecil ini mengikuti Kakek Ahmad di belakangnya dengan rasa khawatir dan perlahan-lahan dalam berjalan, jangan sampai Si kakek merasa diikuti dan melaporkan dia ke keluarganya dan yang kemungkinan akan menghukumnya. Berjalanlah peristiwa ini seterusnya sampai pada suatu ketika Si kakek dipanggil oleh Allah Pemilik jiwa dan raganya. Si kakek wafat.
Anak kecil mendengar kabar ini, tertegunlah dia dan menangis sejadi-jadinya. Ayahnya sangat heran melihat kondisi seperti ini, kemudian bertanyalah kepada anaknya, “Wahai anakku kenapa kamu menangis sampai seperti ini, dia itu bukan teman bermainmu dan bukan pula saudaramu yang hilang?” Anak kecil itu melihat kearah ayahnya dengan berlinang air mata penuh kesedihan, dan berkata kepada ayahnya, “seandainya yang meninggal itu ayah, bukan dia.” Bagai disambar petir dan tercenganglah seorang ayah kenapa anaknya yang berkata dengan ungkapan seperti itu, dan kenapa begitu cintanya anaknya kepada si kakek? Anak kecil menjawab dengan suara parau, “Aku tidak kehilangan dia karena hal-hal yang ayah sebutkan.” Bertambah heran ayahnya itu dan bertanya, “lalu karena apa?” Anak itu menjawab, “karena shalat ayah….karena shalat!” Kemudian anak itu menambahkan pembicaraannya, “Ayah, kenapa ayah tidak shalat subuh? Kenapa ayah tidak seperti si kakek dan seperti orang lain yang aku lihat?” Berkata ayahnya, “dimana kamu melihatnya?” Anak kecil itu menjawab, “di masjid.” Berkata lagi ayahnya, “bagaimana kisahnya?” Maka berceritalah anak kecil itu kepada ayahnya tentang apa yang dilakukan selama ini. Tersentuhlah seorang ayah oleh anaknya, lembutlah hati dan tubuhnya, jatuhlah air matanya, dipeluklah anaknya, dan semenjak peristiwa itu, ayah anak itu tidak pernah meninggalkan shalat satu waktupun dan semuanya dilakukan di masjid.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber ; dakwatuna.com
Langganan:
Postingan (Atom)