Ayahku hanyalah seorang petani.. Setiap pagi sebelum ayam berkokok dan orang-orang masih terlelap dalam mimpi-mimpi indah, ayah sudah harus bangun mempersiapkan barang-barang yang hendak dibawa ke kebun nanti. Kemudian setelah adzan subuh berkumandang ayah mengayuh sebuah perahu menuju sebrang pulau ditemani seorang wanita yang tangguh yaitu ibuku..
Beberapa puluh tahun yang lalu ayahku seorang pemuda yang rela meninggalkan kampung halamannya dan merantau ke sebuah desa kecil di timur Indonesia. Ia tinggal di sebuah rumah sambil bekerja kemudian jatuh hati pada anak gadis majikannya yang ketika itu masih belasan tahun. Ia pun langsung melamar dan mereka pun menikah.
Aku yakin waktu itu ayah adalah pemuda yang baik sehingga nenek mau menikahkan ayah dengan anak gadisnya yang sekarang telah menjadi ibuku. Dan memang benar karena selama menikah sampai sekarang ayah tidak pernah menyakiti ibu. Kata ibu ketika ayah marah ayah mengambil parang kemudian turun dari rumah gantung di kebun lalu memotong pisang yang ditanam bersama sebagai pelampiasan amarahnya atau pergi menenangkan diri.
Ibuku rela tuk dibawa oleh ayahku pergi berkebun. Baiasanya waktu dulu di desa itu kalau berkebun mereka harus tinggal di kebun yang jauh dari kampung. Menjaga tanaman kelapa agar tidak diganggu binatang buas. Mereka ke kampung hanya apabila hendak berbelanja seperti gula, garam, teh dan lainnya.
Buah dari pernikahan mereka melahirkan Sembilan orang anak dan salah satunya aku.. Namun keempat saudaraku telah terlebih dahulu dipanggil yang Maha kuasa ketika mereka masih kecil sehingga sekarang tinggal kami berlima dan aku anak kelima dari lima bersaudara. Satu kakak laki-lakiku yang paling tua dan ketiga kakak perempuanku yang sangat aku sayangi.
Dahulu ketika aku masih kecil ayah sering berpesan padaku “Jangan Jadi Seperti Ayah”. Ayahku tidak ingin anak-anaknya seperti dia menjadi petani namun sekolah setinggi-tingginya hingga tergapai mimpiku.
Ketika hari sudah sore ayah menyuruh aku ke guru ngaji tuk belajar mengaji dan ayah selalu berkata “Jangan Jadi Seperti Ayah”. Karena ayahku tidak bisa mengaji sehingga ia berkata begitu.
“kenapa ayah seperti ini? (tidak bisa mengaji). Karena dahulu orang tua ayah tidak pernah mengajarkan ayah mengaji dan sekarang kalian anak-anak ayah harus bisa mengaji.” Pesan ayah.
Aku bangga dengan keterbukaan ayah..
Meskipun ayahku tidak bisa mengaji namun Alhamdulillah aku punya ibu yang bisa mengaji sehingga sering mengajarkan aku dan kakak-kakakku mengaji dirumah selain kami mengaji pada guru. Bahkan sebelum kami tidur ibu sering melantunkan ayat-ayat suci itu mengiringi kami tidur. Dan biasanya ayah sering mendongeng sebelum kami tidur. Aku masih ingat kisah yang sering diceritakan ayah yaitu dua ekor buaya bersaudara yang bernama Hasini dan Hasani. Aku dan kakakku sering meminta ayah menceritakannya berulang-ulang. Dan sekarang setelah aku gede aku merasa itu konyol namun aku tetap mengenangnya.
Ayahku tegas dan disiplin. Dan juga keras. Namun ia penyayang.. Dari ayah aku belajar banyak hal. Tentang kejujuran.. Keterbukaan dan jiwa penolong yang tinggi.
Ketika aku kecil dulu orang-orang dari kota sering datang ke desa kami tuk berjualan dan ketika hari sudah sore mereka tidak dapat kembali ke kota. Ayah sering memanggil mereka tuk datang ke rumah lalu melayani mereka dengan sepenuh hati.
Namun kasih sayang ayah dan ibu tak dapat aku rasakan secara langsung lagi sebelum aku dewasa. Ketika aku lulus sekolah menengah pertama dan harus menyebrang lautan melanjutkan sekolahku. Kakak perempuanku diterima menjadi seorang guru di sebuah daerah yang termasuk jauh sehingga ia membawaku tuk menemaninya. Disitu pun aku belajar banyak hal yang membuat aku semakin dewasa.
Ayah mengajarkan aku dan kakak-kakakku banyak hal sehingga kami saling menyayangi. Kakak perempuanku yang telah menjadi guru tidak mau ayahku berbanting tulang lagi tuk membiayai sekolah adik-adiknya lalu dia yang mengambil alihnya.
Ternyata pesan ayah membuat ia menderita.. Ia harus menahan rindu terhadap semua anak-anaknya yang pergi meninggalkannya demi menggapai angan dan cita mereka. Mengukir asa di rantau orang.
Setelah lulus Sekolah Menengah Atas aku langsung mencoba menggapai mimpi di Jogjakarta dan kakak-kakakku yang lain di tanah Sulawesi. Aku bahkan tidak pernah bertemu seorang kakak perempuanku enam tahun lamanya. Setelah empat tahun merantau aku sempat pulang namun tidak bertemu dengannya kerna tengah kuliah. Ia selalu berkata rindu ingin bertemu adik bungsunya yang sekarang sudah dewasa.
Rumah kami yang tadinya penuh dengan keceriaan kini berubah menjadi kaku dan sepi. Hanya kakak laki-lakiku anak tertua yang memilih tuk tidak melanjutkan sekolah namun ia pun sering pergi bekerja sehingga suasana rumah menjadi hampa.
Begitulah hidup.. kita takkan selamanya bersama orang-orang yang kita cintai.
Diantara anaknya yang pergi, akulah yang jarang pulang. Kata kakakku ketika menelfon, ayah sering mengatakan rindu.. Dan Sekarang ayah sering sakit-sakitan. Mendengar itu aku hanya bisa menangis dan berdo’a memohon kesembuhan pada ayah karena salah satu keinginanku ketika aku menikah nanti ayah harus hadir hingga bisa menggendong cucu dariku agar ayah tahu bahwa aku bahagia.
Ketika lebaran tiba, kakakku yang sempat pulang menelfonku dan ibuku tak mau berbicara denganku karena apabila ia mendengar suaraku ia akan menangis. Karena akulah anaknya yang bungsu dan paling jauh..
“Bu… Sejauh manapun anakmu ini pergi, ibu akan selalu ada di hati. Krena aku tahu “The Great Power Of Mom” yang membuat aku seperti ini. Suatu ketika aku akan kembali dan suatu ketika aku akan pergi lagi.. Disaat aku menikah nanti aku harus meninggalkan ibu meski ibu sangat aku cinta. Karena aku harus menjadi pemimpin baru seperti ayah memimpin ibu dahulu. Dan aku yakin ibu akan tersenyum dengan kepergianku yang kedua karena ibu tahu aku bahagia.”
Kini aku tengah merajut mimpi di negeri orang.. aku hanya bisa berdo’a agar suatu ketika kita bisa dikumpulkan kembali dalam naungan kasih dan sayang-Nya.
Untuk ayahku..
“Meski pun pesan ayah jangan jadi seperti Ayah namun aku tetap ingin jadi seperti Ayah.. Yang begitu tangguh mencari nafkah tuk keluarga. Yang rela meninggalkan kampung halaman demi sebuah perubahan dan tak lagi mengharap harta warisan orang tua.”
“Pesan ayah akan selalu aku ingat dan akan ku pesankan lagi pada anakku kelak tentang keburukanku yang tak patut ditiru.” (Jangan Jadi Seperti Ayah)
Untuk kakak laki-lakiku..
“Ka, cepatlah menikah.. Adikmu ini sudah rindu ingin menikah masa kakaknya belum juga??”
“Ketiga kakak perempuanku yang sangat aku sayangi. Semoga tetap dalam lindungan Allah. Yakinlah suatu ketika jika Allah mengizinkan kita akan tetap bertemu. Tetaplah saling menyayangi karena Allah akan mempertemukan kembali orang-orang yang saling menyayangi atas asma-Nya di akhirat kelak.”
Meskipun ayahku bukanlah seorang yang pandai dalam agama, namun cara dia mendidik dan membesarkan anak-anaknya seperti apa yang diajarkan islam.. Yaitu penuh kasih dan sayang. Dia mengajarkan tuk saling mencintai antara aku dan kakak-kakakku sehingga kita tak saling menyakiti.
Tanpa disadari, pesan dari ayah mampu membawa banyak perubahan dalam kehidupan kami. Kedua kakakku telah sarjana da seorang kakakku lagi telah lulus PGSD. Kakak laki-lakiku tak mau melanjutkan pendidikannya maka kini tinggal aku yang tengah dalam proses menggapai asa dan harapan.
Seburuk-buruknya aku, aku ingin menjadi anak yang sholeh agar bisa membahagiakan kedua orang tuaku. Meskipun itu sulit namun aku harus berusaha tuk bisa. Aku yakin kesholehan bukanlah suatu pencapaian namun sebuah proses. karena Allah menilai pada proses serta azam seseorang dan hasilnya akan didapatkan di akhirat kelak.
Suatu ketika jika aku punya isteri nanti, aku ingin seseorang yang setia seperti ibuku yang tetap berada disamping ayahku melewati suka duka hidup. Tetap ada saat ayahku berada dalam keterpurukan dan setia menemaninya hingga menua..
Untuk kalian yang dekat dengan ayah dan ibu kalian.. Katakanlah bahwa kalian mencintai mereka sebelum semuanya terlambat. Ciumlah tangan mereka dan lakukanlah yang terbaik sebelum kalian jauh…
Ini hanyalah sebuah kisah tentang aku dan keluargaku. Awalnya aku tidak ingin menulis ini namun suatu kalimat oleh Bunda Evi Ni’matuzzakiyah dalam bukunya “Berani Mengambil Keputusan” menguatkanku tuk harus menulisnya.
"Goresan Tinta Kita berarti Catatan Sejarah Untuk Anak Cucu Kita.”
Begitulah yg dikatakan Bunda Evi yang juga pernah menjadi dosen Pendidikan Agama Islamku ketika semester II dahulu.
Aku ingin tulisan ini bisa menjadi pelajaran untuk anak-anakku nanti serta orang-orang yang membacanya dan mau mengambil hikmah dari kisah ini.
Semoga mampu mengambil hikmahnya..
Kupersembahkan kisah ini pada Ayahku yang terkasih serta ibuku tercinta dan kakak-kakakku yang sangat aku sayangi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar